Pengikut

Rabu, 17 Februari 2010

ICW: "Fee" Untuk Kepala Daerah Rp360,31 Miliar

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, honorarium dan "fee" (bayaran) yang diterima kepala daerah beserta pejabat daerah dari enam Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencapai Rp360,31 miliar.

"Enam BPD tersebut, yaitu Bank Sumatra Utara, Bank Jabar Banten, Bank DKI, dan Bank Jawa Tengah, Bank Jawa Timur, dan Bank Kalimantan Timur," jelas Tama dalam diskusi "Kontroversi Honorarium dan `Fee` bagi Kepala Daerah dan Reformasi Sistem Penggajian" di Jakarta, Rabu.

Tama mengatakan, penerimaan honorarium dan "fee" dari BPD tersebut secara jelas melanggar dan menyalahgunakan aturan yang berlaku.

Salah satu aturan yang dilanggar yaitu, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

"Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara," ujar Tama.

Selain itu, Tama mengatakan, penerimaan yang diterima oleh Pejabat Negara tersebut juga melanggar ketentuan aliran dana pendapatan daerah.

Dalam Permendagri No.3 tahun 1998 dijelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh BPD sebagai bagian dari BUMN seharusnya masuk ke kas daerah dan kalau pun terdapat bunga dari APBD yang disimpan dalam BUMN (BPD), penerimaan tersebut harus masuk ke kas daerah.

"Tapi yang terjadi selama ini kan honorarium dari BPD itu masuk ke rekening pribadi Kepala Daerah, bukan ke kas daerah," kata Tama.

Lebih lanjut, Tama menjelaskan dana yang ditanggung APBD bukanlah honorarium seperti yang diterima langsung dari BPD, melainkan biaya penyelenggaraan administratif.

"Jadi selama berpuluh-puluh tahun ini pejabat salah mengartikan aturan yang ada," katanya.

Menurut dia, pemberian honorarium dan fee dari BPD ini secaya nyata telah menimbulkan konflik kepentingan.

Senda dengan Tama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moch Jasin mengatakan, beberapa sumber utama konflik kepentingan, yaitu kepemilikan aset, gratifikasi dan rangkap jabatan.

"Untuk mengatasi konflik kepentingan harus diberlakukan sistem kompensasi yang berbasis kinerja," kata Jasin dalam diskusi tersebut.

Menurut dia, kompensasi dan reformasi penggajian harus dilakukan salah satunya ialah dengan memberlakukan single salary (gaji tunggal).

"Gaji pokok Kepala Daerah itu memang tidak mencapai 10 juta, tapi penerimaan dari sumber lain bisa beratus-ratus juta. Nah ini yang harus dipikirkan ulang oleh pemerintah. Untuk itulah diberlakukan `single salary` yang mencukupi tanpa harus menerima dari sumber lain yang tak sesuai aturan," jelas Jasin.


Jasin menegaskan, untuk mencegah konflik kepentingan yang disebabkan oleh penerimaan yang tidak sesuai dengan aturan harus dilakukan pemberlakuan kebijakan yang tegas terkait kompensasi yang diterima serta regulasi yang jelas.

Sedangkan peneliti hukum dan politik The Indonesian Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, menteri dalam negeri harus segera membuat regulasi untuk membatasi fee dan honorarium Kepala Daerah dan para Pejabat Daerah.

"Aturan harus benar-benar dibuat agar honor-honor dan fee yang tidak jelas dan nilainya sangat besar tersebut bisa digunakan untuk mendorong pelayanan kesejahteraan rakyat," kata Roy.

0 komentar:

Posting Komentar